Sondag 14 April 2013

TEORI TENTANG SUMBER KEJIWAAN AGAMA



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori Tentnag Sumber Kejiwaan Agama
1.      Teori Monistik: (Mono=Satu)
Teori monistik berpendapat bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah satu sumber kejiwaan. Selanjutnya sumber  tunggal manakah yang dimaksud yang paling dominan sebagai sumber kejiwaan itu timbul beberapa pendapat, yaitu yang dikemukakan oleh[1]:
a.       Thmas Van Aquito
Yang menjadi sumber kejiwaan agama itu adalah berpikir. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berpikir manusia itu sendiri.
b.      Frederick Hegel
Agama adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan tepat kebenaran abadi. Dengan kata lain agama merupakan hal-hal yang berhubungan dengan pikiran.
c.       Frederick Schleimacher
Sumber keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak. Dengan adanya sumber rasa ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah. Manusia merasa tak berdaya menghadapi tantangan alam yang selalu dialaminya, maka mereka menggantungkan harapannya kepada suatu kekuasaan yang meraka anggap mutlak. Rasa ketergantungan yang mutlak ini dapat dibuktikan dalam realitas upacara keagamaan dan pengabdian para penganut agama kepada suatu kekuasaan yang mereka namakan tuhan.
d.      Rudolf Otto
Sumbr kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari The Whooly Other (yang sama sekali lain).

e.       Sigmund Freud
Pendapat S. Freud unsure sunber kejiwaan agama ialah libido sexual (naluri seksual)[2].
f.       William Mac Dougall
Ia berpendapat bahwa instink khusus sebagai sumber agama tidak ada. Ia berpendapat sumber kejiwaan agama merupakan kumpulan dari beberapa instink.
2.      Teori Fakulti (Faculty Theory)
Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal tetapi terdiri dari atas beberapa unsur, antara lain yang dianggap memegang peranan penting adalah: fungsi cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will). Demikian pula perbuatan manusia yang bersifat keagamaan di pengaruhi dan ditentukan oleh tiga fungsi tersebut[3]:
1.      Cipta (reason)
Merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. Ilmu kalam (Theologi) merupakan cerminan adanya pengaruh fungsi intelek ini. Melalui cipta orang dapat menilai dan membandingakan dan selanjutnya memutuskan suatu tindakan terhadap stimulan tertentu.
2.      Rasa (emotion)
Suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam membentuk motivasi dalam corak tingkah laku sesorang. Betapapun pentingnya fungsi reason, namun jika digunakan secara berlebih-lebihan akan menyebabkan ajaran agama itu menjadi dingin.
3.      Karsa (will)
Merupakan fungsi eksekutif dalam jiwa manusia. Will berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan kejiwaan.

3.      Beberapa Pemuka Teori Fakulti
a.      G.M. Straton. 
G.M. Straton mengemukakan teori “konflik”, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah adanya konflik dalam kejiwaan manusia. Seperti Sigmund Freud berpendapat, bahwa dalam setiap organis terdapat dua konflik kejiwaan yang mendasar, yaitu:[4]
a.       Life-urge ; ialah keinginan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari keadaan yang terdahulu agar terus berlanjut.
b.      Death-urge ; ialah keinginan untuk kembali pada keadaan semula sebagai benda mati (anorganis).
Lalu, G.M. Straton berpendapat, konflik yang positif tergantung atas adanya dorongan pokok yang merupakan dorongan dasar (basic-urge), sebagai keadaan timbulnya konflik tersebut.

b.      Zakiah Daradjat. 
Selain dari kebutuha jasmani dan rohani, manusia pun membutuhkan keseimbangan dalam kehidupan jiwanya agar tidak mengalami tekanan. Unsur-unsur kebutuhan yang dikemukakan yaitu:[5]
1)      Kebutuhan akan rasa kasih sayang
2)      Kebutuhan akan rasa aman
3)      Kebutuhan akan rasa harga diri
4)      Kebutuhan akan rasa bebas
5)      Kebutuhan akan rasa sukses
6)      Kebutuhan akan rasa ingin tahu (mengenal)
Selanjutnya menurut Zakiah Daradjat, gabungan dari keenam macam kebutuhan tersebut menyebabkan orang memerlukan agama. Melalui agama kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat disalurkan.



c.       W.H. Thomas.
Melalui teori The Four Wishes-nya ia mengemukakah, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah empat macam keinginan dasar yang ada dalam jiwa manusia, yaitu: 1)   Keinginan untuk keselamatan (security). 2)   Keinginan untuk mendapatkan penghargaan (recognation). 3)   Keinginan untuk ditanggapi (response). 4)   Keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new experience).[6] 

B.     Timbulnya Jiwa Keagamaan Pada Anak
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dna pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini. Seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu:[7] 1) Prinsip biologis, 2) Prinsip tanpa daya, 3) Prinsip eksplorasi.
Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Tanda-tanda keagamaan pada diri anak tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya. Teori mengenai pertumbuhan agama pada anak antara lain:[8]
1)      Rasa ketergantungan (sense of depende). Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterima anak dari lingkungan maka kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2)      Instink keagamaan. Menurut Woodword, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink diantaranya instink keagamaan.

C.    Perkembangan Agama pada Anak-anak
1.      Kanak-kanak (0-6 Tahun)
Disebut fase bayi sejak seorang individu manusia dilahirkan dari rahim ibunya hingga berusia lebih kurang satu tahun. Sedangkan fase anak-anak adalah masa perkembangan dari usia satu tahun hingga usia lima tahun atau enam tahun. Tugas perkembangan pada masa ini meliputi belajar mamakan makanan, belajar berjalan, belajar bicara, belajar membedakan jenis kelamin, mengenal huruf, dan belajar membedakan antara yang baik dan yang buruk serta yang benar dan yang salah.[9]
            Pendidikan agama, dalam arti pembinaan kepribadian, sebenarnya telah mulai sejak si anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Keadaan orang tua, ketika si anak dalam kandungan, mempengaruhi jiwa. Anak akna mendapat pengalaman agama melalui ucapan, tindakan dan perlakuan dari orang lain dan keluarganya.[10]

2.      Anak-anak Umur Sekolah (6-12 tahun)
Masa anak-anak berlangsung antara usia 6 sampai 12 tahun denan ciri-ciri (a) memiliki dorongan untuk keluar dan memasuki kelompok sebaya, (b) keadaan fisik yang memungkinkan anak memasuki dunia permainan dan keterampilan jasmani, (c) memiliki dorongan mental untuk memasuki dunia konsep, logika dan komunikasi yang luas.[11]
Tugas-tugas perkembangan pada fase ini antara lain: (a) belajar ketermapilan fisik seperti lompat jauh, tinggi, mengejar, menghindari dan lain-lain, (b) memberikan sikap positif terhadap dirinya sendiri, (c) belajar bergaul, (d) belajar memainkan peran sebagai seorang pria (jika ia pria) atau wanita (jika ia seorang wanita), (e) mengembangkan konsep kehidupan sehari-hari, dan (f) mengembangkan kata hati, moral dan skala nilai yang selaras dengan keyakinan dan kebudayaan yang berlaku di masyarakat.
Ketika ana masuk sekolah dasar, dalam jiwannya ia telah membawa bekal rasa agama yang terdapat dalam kepribadiannya dan orang tuanyadan dari gurunya di taman kanak-kanak. Ketika orang tua memiliki sikap acuh tak acuh dan negatif terhadap agama, akan mempunyai akibat yang seperti itu pula pada pribadi anak. Kepercayaan anak kepada tuhan pada umum permulaan masa sekolah itu bukanlah keyakinan hasil pemikiran, akan tetapi sikap emosi yang membutuhkan pelindung. Hubungannya dengan Tuhan bersifat individual dan emosional.[12]
Menurut penelitian Ernest Harms, perkembangan agama pada anak-anak melalui beberapa fase atau tingkatan. Ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui 3 tingkatan yaitu[13]
1.      The fairy tale stage (tingkat dongeng)
Tingkat ini dimulai pada anak usia 3 sampai 6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai tuhan konsep mengenai tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fatasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat intelektualnya. Yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2.      The realistic stage (tingkat kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar hingga keusia (masa usia) adolesense.[14] Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan pada kenyataan atau realitas. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep tuhan yang formalis. Pada masa ini anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yan nereka lihat dikelola oleh orang dewasa.
3.      The individual stage (tingkat individu)
Paada tingkat  ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan dengan usia mereka. Konsep keagamaan yang idealistis ini terbagi atas 3 golongan yaitu :
a.       Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif yang dipengaruhi oleh sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
b.      Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal atau perorangan.
c.       Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.[15]
Dorongan untuk mengabdi yang ada pada diri manusia pada hakekatnya merupakan sumber keberagamaan yang fitri. Untuk memelihara dan menjaga kemurnian potensi fitrah, maka Tuhan Sang Maha pencipta mengutus para nabi dan rasul. Tugas utama mereka adalah untuk mengarahkan pengembangan potensi bawaan itu kejalan yang sebenarnya, seperti yang dikehendaki oleh sang pencipta. Bila tindakan diarahkan oleh Tuhan, dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan.
Konsep ajaran Islam menegaskan bahwa hakikatnya penciptaan jin dan manusia adalah untuk menjadi pengabdi yang setia kepada Penciptanya (QS 51:56). Agar tugas dan tanggung jawab dapat diwujudkan secara benar, Maka Tuhan mengutus Rasul-Nya sebagai pemberi pengajaran, contoh dan teladan. Dalam estafet berikutnya, risalah kerasulan ini diwariskan kepada para ulama. Teapi tanggung jawab utamanya dititik beratkan kepada kedua orang tua. Dipesankan Rasul bahwa bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu dorongan untuk mengabdi kepada Penciptanya. Namun, benar tidaknya cara dan bentuk pengabdian yang dilakukannya, sepenuhnya tergantung dari kedua orang tua masing-masing.[16]
Pernyataan ini menunjukan bahwa dorongan keberagamaan merupakan faktor bawaan manusia. Apakah nantinya setelah dewasa seseorang akan menjadi sosok penganut agama yang taat sepenuhnya tergantung dari pembinaan nilai-nilai agama oleh kedua orang tua. Keluarga merupakan pendidikan dasar bagi anak-anak, sedangkan lembaga pendidikan hanyalah sebagai pelanjut pendidikan rumah tangga. Dalam kaitan dengan kepentingan ini pula terlihat peran strategis dan peran sentral keluarga dalam meletakkan dasar-dasar keberagamaan bagi anak-anak.
Sigmund Frued bahkan menempatkan “bapa” sebagai sosok yang memiliki peran penting dalam menumbuhkan agama pada anak-anak. Tokoh bapa ikut menentukan dalam menumbuhkan rasa dan sikap keberagamaan seorang anak. Dalam pandangan anak, memeang bapa menjadi tokoh panutan yang diidolakan. Kebanggan anak terhadap “bapa” demikian kuat dan berpengaruh, sehingga ikut menumbuhkan cerita dalam dirinya.
D.    SIFAT-SIFAT AGAMA PADA ANAK-ANAK
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan cirri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outhority, ide keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh factor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat, mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu  yang berhubungan dengan kemaslahatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dan para orang tua maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut. Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas [17]:
1.      Unreflective ( Tiak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang jumlah konsep ke Tuhanan pada diri anak 73 % mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klaus memotong jenggotnya untuk membuat bantal. Dengan demikian anggapan mereka terhadap ajara agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.
2.      Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang mendapat kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak-kanakan (childish) dan memiliki sifat ego yang rendah. Hal yang demikian menganggu pertumbuhan keagamaannya.
3.      Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ke Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya ke kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke Tuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Surga terletak di langit dan untuk tempat orang yang baik. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagai layaknya orang mengintai.[18]
4.      Verbalis dan Ritualis
Dan kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghapal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu hal tersebut kurang ada hubungannya dengan perkembangan agama pada anak di masa selanjutnya tetapi menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama anak itu di usia dewasanya. Bukti menunjukkan bahwa banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa anak-anak mereka. Sebaliknya belajar agama di usia dewasa banyak mengalami kesuburan. Latihan-latihan bersifat verbalis dan upacara keagamaan yang bersifat ritualis (praktik) merupakan hal yang berarti dan merupakan salah satu cirri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anak.
5.      Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan sholat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Pada ahli jiwa menganggap, bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
6.      Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan  yang terakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif.[19]
DAFTAR PUSTAKA


Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, PT. Bulan Bintang, Jakarta.
Jalalludin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Thirin, Psikologi Pembelajaran Psikolog Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012.


[1] Jalaluddin, Psikolog Agama, Cet. Ke-6, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 54.
[2] Ibid, hlm. 55
[3] Ibid, hlm. 56
[4] Ibid, hlm. 59
[5] Ibid, hlm. 60
[6] Ibid, hlm. 62
[7] Jalaludin, Psikologi Agama, Cet. Ke-13, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 64
[8] Ibid, hlm. 65
[9] Thirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2001, hlm. 40
[10] Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, PT. Bulan Bintang Jakarta, hlm. 126
[11] Thirin, Op.Cit, hlm. 41
[12] Zakiah Drajat. Op.Cit., hlm. 126
[13] Jalaludin, Psikologi Agama, Cet. Ke-13, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 64
[14] Thirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2001,   hlm. 40
[15] Jalaludin, Op.Cit, hlm. 66
[16] Jalaludin, Psikologi Agama, Cet. Ke-6, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 69
[17] Jalaludin, Psikologi Agama, Cet. Ke-13, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 70
[18] Jalaludin, Op.Cit, hlm. 72
[19] Ibid. hlm. 73

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking