BAB
II
PEMBAHASAN
A. Teori Tentnag Sumber Kejiwaan Agama
1. Teori Monistik: (Mono=Satu)
Teori monistik
berpendapat bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah satu sumber
kejiwaan. Selanjutnya sumber tunggal
manakah yang dimaksud yang paling dominan sebagai sumber kejiwaan itu timbul
beberapa pendapat, yaitu yang dikemukakan oleh[1]:
a. Thmas Van Aquito
Yang menjadi sumber kejiwaan agama
itu adalah berpikir. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan
berpikir manusia itu sendiri.
b. Frederick Hegel
Agama adalah suatu pengetahuan yang
sungguh-sungguh benar dan tepat kebenaran abadi. Dengan kata lain agama
merupakan hal-hal yang berhubungan dengan pikiran.
c. Frederick Schleimacher
Sumber keagamaan itu adalah rasa
ketergantungan yang mutlak. Dengan adanya sumber rasa ketergantungan yang
mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah. Manusia merasa tak berdaya
menghadapi tantangan alam yang selalu dialaminya, maka mereka menggantungkan
harapannya kepada suatu kekuasaan yang meraka anggap mutlak. Rasa
ketergantungan yang mutlak ini dapat dibuktikan dalam realitas upacara
keagamaan dan pengabdian para penganut agama kepada suatu kekuasaan yang mereka
namakan tuhan.
d. Rudolf Otto
Sumbr kejiwaan agama adalah rasa
kagum yang berasal dari The Whooly Other (yang sama sekali lain).
e. Sigmund Freud
Pendapat S. Freud unsure sunber
kejiwaan agama ialah libido sexual (naluri seksual)[2].
f. William Mac Dougall
Ia berpendapat bahwa instink khusus
sebagai sumber agama tidak ada. Ia berpendapat sumber kejiwaan agama merupakan
kumpulan dari beberapa instink.
2. Teori Fakulti (Faculty Theory)
Teori ini
berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor
yang tunggal tetapi terdiri dari atas beberapa unsur, antara lain yang dianggap
memegang peranan penting adalah: fungsi cipta (reason), rasa (emotion), dan
karsa (will). Demikian pula perbuatan manusia yang bersifat keagamaan di pengaruhi
dan ditentukan oleh tiga fungsi tersebut[3]:
1. Cipta (reason)
Merupakan fungsi intelektual jiwa
manusia. Ilmu kalam (Theologi) merupakan cerminan adanya pengaruh fungsi
intelek ini. Melalui cipta orang dapat menilai dan membandingakan dan
selanjutnya memutuskan suatu tindakan terhadap stimulan tertentu.
2. Rasa (emotion)
Suatu tenaga dalam jiwa manusia
yang banyak berperan dalam membentuk motivasi dalam corak tingkah laku
sesorang. Betapapun pentingnya fungsi reason, namun jika digunakan secara berlebih-lebihan
akan menyebabkan ajaran agama itu menjadi dingin.
3. Karsa (will)
Merupakan fungsi eksekutif dalam
jiwa manusia. Will berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta
ajaran agama berdasarkan kejiwaan.
3. Beberapa Pemuka Teori Fakulti
a. G.M. Straton.
G.M. Straton mengemukakan teori “konflik”, bahwa yang
menjadi sumber kejiwaan agama adalah adanya konflik dalam kejiwaan manusia.
Seperti Sigmund Freud berpendapat, bahwa dalam setiap organis terdapat dua
konflik kejiwaan yang mendasar, yaitu:[4]
a. Life-urge ; ialah keinginan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup dari keadaan yang terdahulu agar terus berlanjut.
b. Death-urge ; ialah keinginan untuk kembali pada keadaan semula
sebagai benda mati (anorganis).
Lalu, G.M. Straton berpendapat, konflik yang positif
tergantung atas adanya dorongan pokok yang merupakan dorongan dasar
(basic-urge), sebagai keadaan timbulnya konflik tersebut.
b. Zakiah Daradjat.
Selain dari kebutuha jasmani dan rohani, manusia pun
membutuhkan keseimbangan dalam kehidupan jiwanya agar tidak mengalami tekanan. Unsur-unsur
kebutuhan yang dikemukakan yaitu:[5]
1) Kebutuhan akan rasa kasih sayang
2) Kebutuhan akan rasa aman
3) Kebutuhan akan rasa harga diri
4) Kebutuhan akan rasa bebas
5) Kebutuhan akan rasa sukses
6) Kebutuhan akan rasa ingin tahu (mengenal)
Selanjutnya menurut Zakiah Daradjat, gabungan dari keenam
macam kebutuhan tersebut menyebabkan orang memerlukan agama. Melalui agama
kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat disalurkan.
c. W.H. Thomas.
Melalui
teori The Four Wishes-nya ia mengemukakah, bahwa yang menjadi sumber
kejiwaan agama adalah empat macam keinginan dasar yang ada dalam jiwa manusia,
yaitu: 1) Keinginan untuk keselamatan (security). 2) Keinginan
untuk mendapatkan penghargaan (recognation). 3) Keinginan
untuk ditanggapi (response). 4) Keinginan akan
pengetahuan atau pengalaman baru (new experience).[6]
B. Timbulnya Jiwa Keagamaan Pada Anak
Manusia dilahirkan dalam keadaan
lemah, fisik maupun psikis. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui
bimbingan dna pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini. Seorang anak
menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya,
yaitu:[7] 1)
Prinsip biologis, 2) Prinsip tanpa daya, 3) Prinsip eksplorasi.
Menurut beberapa ahli anak
dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Tanda-tanda keagamaan pada
diri anak tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi
kejiwaan lainnya. Teori mengenai pertumbuhan agama pada anak antara lain:[8]
1) Rasa ketergantungan (sense of depende). Teori ini dikemukakan
oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Melalui pengalaman-pengalaman yang
diterima anak dari lingkungan maka kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada
diri anak.
2) Instink keagamaan. Menurut Woodword, bayi yang dilahirkan sudah
memiliki beberapa instink diantaranya instink keagamaan.
C. Perkembangan Agama pada Anak-anak
1.
Kanak-kanak (0-6
Tahun)
Disebut fase bayi sejak seorang individu manusia
dilahirkan dari rahim ibunya hingga berusia lebih kurang satu tahun. Sedangkan
fase anak-anak adalah masa perkembangan dari usia satu tahun hingga usia lima
tahun atau enam tahun. Tugas perkembangan pada masa ini meliputi belajar
mamakan makanan, belajar berjalan, belajar bicara, belajar membedakan jenis
kelamin, mengenal huruf, dan belajar membedakan antara yang baik dan yang buruk
serta yang benar dan yang salah.[9]
Pendidikan
agama, dalam arti pembinaan kepribadian, sebenarnya telah mulai sejak si anak
lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Keadaan orang tua, ketika si anak dalam
kandungan, mempengaruhi jiwa. Anak akna mendapat pengalaman agama melalui
ucapan, tindakan dan perlakuan dari orang lain dan keluarganya.[10]
2.
Anak-anak Umur
Sekolah (6-12 tahun)
Masa anak-anak berlangsung antara
usia 6 sampai 12 tahun denan ciri-ciri (a) memiliki dorongan untuk keluar dan
memasuki kelompok sebaya, (b) keadaan fisik yang memungkinkan anak memasuki
dunia permainan dan keterampilan jasmani, (c) memiliki dorongan mental untuk
memasuki dunia konsep, logika dan komunikasi yang luas.[11]
Tugas-tugas perkembangan pada
fase ini antara lain: (a) belajar ketermapilan fisik seperti lompat jauh,
tinggi, mengejar, menghindari dan lain-lain, (b) memberikan sikap positif
terhadap dirinya sendiri, (c) belajar bergaul, (d) belajar memainkan peran
sebagai seorang pria (jika ia pria) atau wanita (jika ia seorang wanita), (e)
mengembangkan konsep kehidupan sehari-hari, dan (f) mengembangkan kata hati,
moral dan skala nilai yang selaras dengan keyakinan dan kebudayaan yang berlaku
di masyarakat.
Ketika ana masuk sekolah dasar,
dalam jiwannya ia telah membawa bekal rasa agama yang terdapat dalam
kepribadiannya dan orang tuanyadan dari gurunya di taman kanak-kanak. Ketika
orang tua memiliki sikap acuh tak acuh dan negatif terhadap agama, akan
mempunyai akibat yang seperti itu pula pada pribadi anak. Kepercayaan anak
kepada tuhan pada umum permulaan masa sekolah itu bukanlah keyakinan hasil
pemikiran, akan tetapi sikap emosi yang membutuhkan pelindung. Hubungannya
dengan Tuhan bersifat individual dan emosional.[12]
Menurut penelitian Ernest Harms, perkembangan agama pada anak-anak
melalui beberapa fase atau tingkatan. Ia mengatakan bahwa perkembangan agama
pada anak-anak itu melalui 3 tingkatan yaitu[13]:
1. The fairy tale stage (tingkat dongeng)
Tingkat ini dimulai pada anak usia 3 sampai 6 tahun. Pada tingkatan ini
konsep mengenai tuhan konsep mengenai tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh
fatasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep
ketuhanan sesuai dengan tingkat intelektualnya. Yang diliputi oleh
dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2. The realistic stage (tingkat kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar hingga keusia (masa
usia) adolesense.[14]
Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang
berdasarkan pada kenyataan atau realitas. Pada masa ini ide keagamaan anak
didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep tuhan
yang formalis. Pada masa ini anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan
yan nereka lihat dikelola oleh orang dewasa.
3. The individual stage (tingkat individu)
Paada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling
tinggi sejalan dengan perkembangan dengan usia mereka. Konsep keagamaan yang
idealistis ini terbagi atas 3 golongan yaitu :
a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif yang
dipengaruhi oleh sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh
luar.
b. Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dengan
pandangan yang bersifat personal atau perorangan.
c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi
etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini
setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia dan
faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.[15]
Dorongan untuk mengabdi yang ada pada diri manusia pada hakekatnya
merupakan sumber keberagamaan yang fitri. Untuk memelihara dan menjaga
kemurnian potensi fitrah, maka Tuhan Sang Maha pencipta mengutus para nabi dan
rasul. Tugas utama mereka adalah untuk mengarahkan pengembangan potensi bawaan
itu kejalan yang sebenarnya, seperti yang dikehendaki oleh sang pencipta. Bila
tindakan diarahkan oleh Tuhan, dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan.
Konsep ajaran Islam menegaskan bahwa hakikatnya penciptaan jin dan
manusia adalah untuk menjadi pengabdi yang setia kepada Penciptanya (QS
51:56). Agar tugas dan tanggung jawab dapat diwujudkan secara benar, Maka Tuhan
mengutus Rasul-Nya sebagai pemberi pengajaran, contoh dan teladan. Dalam
estafet berikutnya, risalah kerasulan ini diwariskan kepada para ulama. Teapi
tanggung jawab utamanya dititik beratkan kepada kedua orang tua. Dipesankan
Rasul bahwa bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu dorongan untuk
mengabdi kepada Penciptanya. Namun, benar tidaknya cara dan bentuk pengabdian
yang dilakukannya, sepenuhnya tergantung dari kedua orang tua masing-masing.[16]
Pernyataan ini menunjukan bahwa dorongan keberagamaan merupakan faktor
bawaan manusia. Apakah nantinya setelah dewasa seseorang akan menjadi sosok
penganut agama yang taat sepenuhnya tergantung dari pembinaan nilai-nilai agama
oleh kedua orang tua. Keluarga merupakan pendidikan dasar bagi anak-anak,
sedangkan lembaga pendidikan hanyalah sebagai pelanjut pendidikan rumah tangga.
Dalam kaitan dengan kepentingan ini pula terlihat peran strategis dan peran
sentral keluarga dalam meletakkan dasar-dasar keberagamaan bagi anak-anak.
Sigmund Frued bahkan menempatkan “bapa” sebagai sosok yang memiliki
peran penting dalam menumbuhkan agama pada anak-anak. Tokoh bapa ikut
menentukan dalam menumbuhkan rasa dan sikap keberagamaan seorang anak. Dalam
pandangan anak, memeang bapa menjadi tokoh panutan yang diidolakan. Kebanggan
anak terhadap “bapa” demikian kuat dan berpengaruh, sehingga ikut menumbuhkan
cerita dalam dirinya.
D. SIFAT-SIFAT AGAMA PADA ANAK-ANAK
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama
pada anak-anak. Sesuai dengan cirri yang mereka miliki, maka sifat agama pada
anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outhority, ide keagamaan pada
diri mereka dipengaruhi oleh factor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat
dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat, mempelajari hal-hal yang
berada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang
dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang
sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan agama. Orang tua
mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka
miliki. Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang
menjadi milik mereka yang mereka pelajari dan para orang tua maupun guru
mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa
walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut. Berdasarkan
hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas [17]:
1. Unreflective ( Tiak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang jumlah konsep ke
Tuhanan pada diri anak 73 % mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti
manusia. Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klaus
memotong jenggotnya untuk membuat bantal. Dengan demikian anggapan mereka
terhadap ajara agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran
yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan
mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk
akal.
2. Egosentris
Anak memiliki
kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan
berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan
diri itu mulai subur pada diri anak, maka tumbuh keraguan pada rasa egonya.
Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu
maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan
telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya.
Seorang anak yang kurang mendapat kasih sayang dan selalu mengalami tekanan
akan bersifat kekanak-kanakan (childish) dan memiliki sifat ego yang rendah.
Hal yang demikian menganggu pertumbuhan keagamaannya.
3. Anthromorphis
Pada umumnya
konsep mengenai ke Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya ke kala
ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke Tuhanan
mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Surga terletak di
langit dan untuk tempat orang yang baik. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat
melihat segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagai layaknya
orang mengintai.[18]
4. Verbalis dan Ritualis
Dan kenyataan
yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula
secara verbal (ucapan). Mereka menghapal secara verbal kalimat-kalimat
keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan
pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu hal
tersebut kurang ada hubungannya dengan perkembangan agama pada anak di masa
selanjutnya tetapi menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya
terhadap kehidupan agama anak itu di usia dewasanya. Bukti menunjukkan bahwa
banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang
dilaksanakan pada masa anak-anak mereka. Sebaliknya belajar agama di usia
dewasa banyak mengalami kesuburan. Latihan-latihan bersifat verbalis dan
upacara keagamaan yang bersifat ritualis (praktik) merupakan hal yang berarti
dan merupakan salah satu cirri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anak.
5. Imitatif
Dalam kehidupan
sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh
anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan sholat misalnya
mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa
pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Pada ahli jiwa menganggap, bahwa
dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan
modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
6. Rasa heran
Rasa heran dan kagum
merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda
dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini
belum bersifat kritis dan kreatif.[19]
DAFTAR
PUSTAKA
Daradjat,
Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, PT. Bulan Bintang, Jakarta.
Jalalludin, Psikologi
Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Thirin, Psikologi
Pembelajaran Psikolog Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012.
[1]
Jalaluddin, Psikolog Agama, Cet. Ke-6, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm. 54.
[2]
Ibid, hlm. 55
[3]
Ibid, hlm. 56
[4]
Ibid, hlm. 59
[5]
Ibid, hlm. 60
[6]
Ibid, hlm. 62
[7]
Jalaludin, Psikologi Agama, Cet. Ke-13, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2010, hlm. 64
[8]
Ibid, hlm. 65
[9]
Thirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta: 2001, hlm. 40
[10]
Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, PT. Bulan Bintang Jakarta, hlm. 126
[11]
Thirin, Op.Cit, hlm. 41
[12]
Zakiah Drajat. Op.Cit., hlm. 126
[13]
Jalaludin, Psikologi Agama, Cet. Ke-13, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2010, hlm. 64
[14]
Thirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta: 2001, hlm. 40
[15]
Jalaludin, Op.Cit, hlm. 66
[16]
Jalaludin, Psikologi Agama, Cet. Ke-6, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2010, hlm. 69
[17]
Jalaludin, Psikologi Agama, Cet. Ke-13, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2010, hlm. 70
[18]
Jalaludin, Op.Cit, hlm. 72
[19]
Ibid. hlm. 73
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking